Niat adanya di dalam hati, kalau lafaz diucapkan, niat
itu seperti kita akan melakukan sesuatu yang sudah direncanakan, kalau lafaz
mengucapkan sesuatu yang akan kita lakukan.
Kalangan al-Malikiyyah mendefinisikan niat sebagai suatu
tujuan dari suatu perbuatan yang hendak dilakukan oleh seorang manusia. Dan
dengan makna ini, maka niat muncul sebelum perbuatan itu sendiri.
Sedangkan kalangan asy-Syafi’iyyah mendefinisikan niat sebagai suatu tujuan
dari suatu perbuatan yang muncul bersamaan dengan perbuatan tersebut.
Para ulama pada umumnya sepakat bahwa letak niat di dalam hati dan
bukan di lisan. Tidak ada satu pun dari para
ulama 4 mazhab yang menyebutkan bahwa niat itu adalah melafazkan suatu teks
tertentu di lisan. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa telah berlaku Ijma’
bahwa tempat niat adalah hati. Atas dasar ini, para ulama sepakat bahwa orang
yang melafazkan niat suatu ibadah seperti shalat misalnya, tetapi di hatinya
sama sekali tidak berniat untuk shalat, maka apa yang diucapkannya itu sama
sekali bukan niat. Demikian pula jika apa yang dilafazkan lidah, ternyata tidak
sesuai dengan yang ada di dalam hati sebagai maksud dan tujuan, apakah karena
salah, tidak sengaja atau lupa, maka yang menjadi pegangan adalah apa yang
terbersit di dalam hati. Dan bukan apa yang diucapkan lidah. Sebab niat itu
adalah aktivitas hati.
Jumhur
Ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat atau rukun shalat, dan letak niat
adalah di dalam hati. Kesimpulan para ulama bahwa niat itu di dalam hati,
memiliki dua konsekuensi: (1) Tidak cukup hanya membaca niat di lisan tanpa
menghadirkannya dalam hati. Jika ada perbedaan antara yang diniatkan dalam hati
dan yang diucapkan lisan, maka yang dihitung adalah apa yang di dalam hati. (2)
Bahwa tidak disyaratkan harus mengucapkan niat/melafazkan niat dalam semua
ibadah. Sebab, lagi-lagi tempat utama niat itu adalah di dalam hati, bukan
lisan. Jika seseorang mengerjakan satu ibadah dan sudah meniatkannya dalam
hati, maka sudah sah ibadah tersebut meski ia tidak melafazkan niatnya melalui
lisan.
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa niat sebagai syarat atau rukun ibadah letaknya ada di
dalam hati, dan bukan lisan. Atas dasar ini, mayoritas ulama sepakat bahwa
tidak disyaratkan untuk sahnya niat dengan cara dilafazkan. Kecuali satu
pendapat di internal mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa melafazkan niat
adalah syarat sah niat. Hanya saja, imam an-Nawawi menegaskan bahwa itu
merupakan pendapat yang syaz (tidak diakui).
Waktu Niat dalam Shalat
Dalam
Tuntunan Shalat Lima Waktu yang telah ditanfidz Pimpinan Pusat Muhammadiyah
tahun 2015 menerangkan bahwa tidak ada tuntunan melafazkan (mengucapkan) niat
dari Nabi saw dan beliau tidak pernah diriwayatkan melafazkannya.
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai waktu
melakukan niat. Fukaha Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah menyatakan bahwa niat
dapat dilakukan mendahului takbiratul ihram. Sementara itu fukaha Syafi’i
menyatakan niat wajib bersamaan dengan takbiratul ihram.
Pendapat jumhur (pendapat pertama) lebih dikuatkan
oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah karena di antara hikmah niat itu
adalah agar orang melakukan suatu ibadah adalah secara sadar dan tidak melakukannya
secara tiba-tiba. Lagi pula dalam ibadah seperti puasa niatnya dilakukan
sebelum melaksanakan puasa itu.
Berikut kami kutip beberapa hal/perkara terkait dengan niat shalat dari berbagai sumber termasuk dari Kitab Arab Melayu mulai dari teknis atau tata cara berniat sampai teks lafaz-lafaz niat. Selamat membaca, semoga bermanfaat.
Tata Cara Niat Shalat dikutip dari Kitab Arab Melayu dan dari berbagai sumber, sebagai khazanah keilmuan oleh para ulama terkait dengan masalah niat.