Keumalahayati dan Armada Inong Balee: Kekuatan Laut Aceh Abad ke-16
Sejarah Indonesia mencatat banyak kisah heroik dari para pahlawan yang berjuang mempertahankan tanah air. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Nusantara pernah memiliki seorang laksamana perempuan yang memimpin armada perang laut. Dialah Laksamana Keumalahayati, pejuang tangguh dari Aceh pada abad ke-16. Ia bukan hanya simbol keberanian perempuan, tetapi juga lambang kejayaan Kesultanan Aceh dalam menguasai perairan strategis Selat Malaka.
Pendahuluan
Di lembaran sejarah Nusantara, nama Keumalahayati tercatat sebagai salah satu sosok perempuan paling berpengaruh dalam dunia maritim. Lahir di tanah Aceh pada abad ke-16, ia tumbuh dalam lingkungan istana yang sarat dengan nilai keberanian dan strategi. Berbekal pendidikan militer di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati kemudian dipercaya menjadi seorang laksamana—jabatan tinggi yang kala itu bahkan jarang diberikan kepada laki-laki, apalagi perempuan.
Malahayati bukan hanya seorang pemimpin di atas kertas. Ia memimpin langsung armada Inong Balee, pasukan laut yang terdiri dari janda-janda para syuhada perang Aceh. Di bawah komandonya, Inong Balee menjadi kekuatan yang disegani, menjaga kedaulatan laut Aceh dari ancaman Portugis, Spanyol, dan Belanda yang berusaha menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka.
Salah satu momen paling monumental dalam karier militernya adalah ketika ia berhasil menumpas armada Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman pada tahun 1599. Keberanian dan kecerdikan Malahayati menjadikan Aceh tetap berdiri tegak sebagai pusat perdagangan sekaligus benteng Islam di Asia Tenggara.
Hari ini, nama Keumalahayati bukan hanya dikenang sebagai pahlawan nasional, tetapi juga sebagai simbol kepemimpinan perempuan yang visioner, tegas, dan berani. Kisahnya memberi inspirasi bahwa perjuangan tidak mengenal batas gender, dan keberanian sejati lahir dari tekad menjaga kehormatan bangsa dan agama.
Baca lainnya: Keumalahayati: Laksamana Perempuan Pertama dari Aceh yang Menggetarkan Dunia
Latar Belakang Kehidupan
Keumalahayati lahir dari keluarga bangsawan Aceh. Ayahnya adalah pejabat tinggi kesultanan, sementara kakeknya, Laksamana Mahmud Syah, dikenal sebagai panglima laut. Dari lingkungan ini, ia tumbuh dengan jiwa kepemimpinan dan keberanian.
Sejak muda, Malahayati menempuh pendidikan militer di Ma’had Baitul Maqdis, akademi militer Aceh yang mengajarkan ilmu navigasi, strategi perang, dan kepemimpinan. Bekal ini menjadikannya salah satu perempuan paling berpengaruh dalam sejarah militer Nusantara.
Peran dalam Kesultanan Aceh
Malahayati mengabdi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589–1604). Saat itu, Kesultanan Aceh sedang berada di puncak kejayaan, sekaligus menghadapi ancaman bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda yang berusaha menguasai perdagangan rempah di Selat Malaka.
Dalam situasi kritis ini, Malahayati dipercaya menjadi panglima armada laut Aceh. Ia kemudian membentuk pasukan perempuan yang dikenal dengan nama Armada Inong Balee, beranggotakan para janda syuhada perang. Dengan kekuatan ini, Malahayati menjaga perairan Aceh sekaligus menunjukkan bahwa perempuan juga mampu tampil di garis depan perjuangan.
Armada Inong Balee
Armada Inong Balee bermarkas di Teluk Lamreh, Aceh Besar, tidak jauh dari Krueng Raya. Pasukan ini diperkirakan beranggotakan ribuan perempuan tangguh yang siap mengorbankan jiwa raga demi membela tanah air.
Kehadiran mereka menimbulkan rasa segan sekaligus gentar di kalangan musuh. Armada Inong Balee menjadi bukti bahwa kekuatan perempuan Aceh tidak hanya terbatas di ranah domestik, tetapi juga mampu mengguncang lautan internasional.
Perjuangan di Laut
Keberanian Malahayati tercatat dalam berbagai pertempuran melawan bangsa Eropa. Salah satu yang paling terkenal adalah pertempurannya dengan armada Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Dalam pertempuran sengit itu, de Houtman disebut-sebut tewas melawan armada Aceh di bawah komando Malahayati.
Peristiwa ini membuat bangsa Belanda semakin hati-hati dalam menghadapi Aceh. Selain sebagai panglima perang, Malahayati juga dikenal piawai dalam diplomasi. Ia pernah memimpin perundingan dengan utusan Belanda, termasuk Jacob van Neck, untuk menuntut ganti rugi atas tindak kejahatan bangsa Eropa terhadap rakyat Aceh.
Warisan Sejarah dan Penghormatan
Malahayati wafat sekitar tahun 1606 dan dimakamkan di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Makamnya terletak di atas bukit yang menghadap ke laut—seolah menjadi simbol pengabdian sepanjang hayatnya sebagai pejuang samudra.
Penghormatan terhadap dirinya terus berlanjut hingga kini:
-
Pada 9 November 2017, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Malahayati.
-
Namanya diabadikan pada Universitas Malahayati di Bandar Lampung.
-
KRI Malahayati (362), kapal perang TNI Angkatan Laut.
-
Nama jalan di berbagai kota besar di Indonesia.
-
Terbitnya prangko edisi pahlawan nasional bergambar Malahayati.
Nilai dan Inspirasi
Kisah Malahayati menyimpan banyak nilai yang relevan hingga kini:
-
Kepemimpinan visioner: Berani memimpin ribuan pasukan perempuan di tengah dominasi laki-laki.
-
Keberanian tanpa batas: Turun langsung ke medan perang menghadapi bangsa kolonial.
-
Keteguhan hati: Mengubah duka kehilangan suami menjadi semangat kolektif membentuk Armada Inong Balee.
-
Inspirasi generasi muda: Menanamkan semangat cinta tanah air, pantang menyerah, dan kesetiaan menjaga martabat bangsa.
Penutup
Laksamana Keumalahayati adalah pahlawan perempuan yang mengukir sejarah besar di lautan Nusantara. Dari Aceh, ia menegakkan kedaulatan bangsa di hadapan penjajah Eropa. Warisannya bukan hanya milik rakyat Aceh, tetapi juga milik seluruh bangsa Indonesia.
Kini, ketika namanya dikenang sebagai Pahlawan Nasional, Malahayati tetap hidup dalam ingatan kita sebagai simbol keberanian, kepemimpinan, dan pengabdian tanpa batas demi tanah air.
Referensi
-
Hasjmy, A. (1977). 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang.
-
Alfian. (1999). Peranan dan Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
-
Djajadiningrat, Hoesein. (1982). Kesultanan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Jakarta: Balai Pustaka.
-
Kemendikbud RI. (2017). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
-
Situs Resmi Museum Aceh & Situs Cagar Budaya Lamreh, Aceh Besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar yang Anda berikan, akan menjadi masukan dan akan ditinjau untuk perbaikan selanjutnya.